BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindrom
Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk yang
sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama
selaput mukosa. Prediksi : mulut, mata, kulit, ginjal, dan anus.
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3
tahun, kebawah kemudian umurnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang
berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma, mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodiomal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Sindrom Steven Johnson ditemukan oleh
dua dokter anak Amerika. A. M. Steven dan S.C Johnson, 1992 Sindrom Steven
Johnson yang bisa disingkat SSJ merupakan reaksi alergi yang hebat terhadap
obat-obatan.
Angka kejadian Sindrom Steven Johnson
sebenarnya tidak tinggi hanya sekitar 1-14 per 1 juta penduduk. Sindrom Steven
Johnson dapat timbul sebagai gatal-gatal hebat pada mulanya, diikuti dengan
bengkak dan kemerahan pada kulit. Setelah beberapa waktu, bila obat yang
menyebabkan tidak dihentikan, serta dapat timbul demam, sariawan pada mulut,
mata, anus, dan kemaluan serta dapat terjadi luka-luka seperti keropeng pada
kulit. Namun pada keadaan-keadaan kelainan sistem imun seperti HIV dan AIDS
angka kejadiannya dapat meningkat secara tajam.
Dari data diatas penulis tertarik
mengangkat kasus Sindrom Steven Johnson karena Sindrom Steven Johnson sangat
berbahaya bahkan dapat menyebabkan kematian. Sindrom tidak menyerang anak
dibawah 3 tahun, dan penyebab Sindrom Steven Johnson sendiri sangat bervariasi
ada yang dari obat-obatan dan dari alergi yang hebat, dan ciri-ciri penyakit
Steven Johnson sendiri gatal-gatal pada kulit dan badan kemerah-merahan dan
Sindrom ini bervariasi ada yang berat dan ada yang ringan.
( Support, Edisi November 2008 )
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Steven Johnson?
2. Apa etiologi dari Steven Johnson?
3. Apa tanda dan gejala Steven Johnson?
4. Apa faktor predisposisi Steven
Johnson?
5. Bagaimana patofisiologi dari Steven
Johnson?
6. Apa komplikasi dari Steven Johnson?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk
Steven Johnson?
8. Bagaimana penatalaksanaan untuk
sindrom Steven Johnson?
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada
penyakit Steven Johnson?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian Steven Johnson?
2. Mengetahui etiologi dari Steven
Johnson?
3. Mengetahui faktor predisposisi Steven
Johnson?
4. Mengetahui tanda dan gejala Steven
Johnson?
5. Mengetahui patofisiologi dari Steven
Johnson?
6. Mengetahui komplikasi dari Steven
Johnson?
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang
untuk Steven Johnson?
8. Mengetahui penatalaksanaan untuk
Syndrom Steven Johnson?
9. Mengetahui asuhan keperawatan pada Syndrom
Steven Johnson?
1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan
bagi pembaca tentang Syndrom Steven Johnson.
BAB II
LANDASAN TEORITIS MEDIS
2.1
Pengertian
1.
Steven Johnson Adalah
sindroma yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura( Mochtar Hamzah, 2005 : 147 )
2.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit
berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit,
selaput lender di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik
sampai buruk.( Kapita Selekta Kedokteran, 2000 : 136 )
3.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai
kulit, selaput lender di orifisium dan mata dengan keadaan umum berfariasi dari
ringan sampai berat kelainan pada kulit berupa eritema vesikel / bula, dapat
disertai purpura( Djuanda, Adhi, 2000 : 147 )
4.
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan
berat yang terdiri dari erupsi kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis (
Junadi, 1982: 480 )
5.
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit
berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit,
selaput lendir yang orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik
sampai buruk ( Mansjoer, A. 2000: 136 )
6.
Adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lender di
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat,
kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel atau bula disertai purpura,
kelainan dimukosa dan konjung
2.2 Etiologi
Etiologi pasti Sindrom Stevens – Johnson (SSJ) belum diketahui. Salah satu penyebabnya
ialah alergi obat sistemik, diantaranya penisilin dan semisintetiknya,
streptomisin, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik/analgetik (misalnya :
derivate salisil/pirazolon, metamizol, metampiron, dan parasetamol),
klorpromazin, karbamazepin, kinin, antipirin, dan jamu. Selain itu dapat juga
disebabkan oleh infeksi (bakteri, virus, jamur, parasit), neoplasma, psca
vaksinasi, radiasi, dan makanan.
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa
factor yang dapat dianggap sebagai penyebab adalah:
a)
Alergi obat
secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti piretik )
Ø
Penisilline
Ø
Sthreptomicine
Ø
Sulfonamide
Ø
Tetrasiklin
b) Anti piretik atau analgesic ( derifat, salisil/pirazolon, metamizol,
metampiron dan paracetamol )
Ø
Kloepromazin
Ø
Karbamazepin
Ø
Kirin Antipirin
Ø
Tegretol
c)
Infeksi
mikroorganisme ( bakteri, virus, jamur dan parasit )
d)
Neoplasma
dan factor endokrin
e)
Factor fisik
( sinar matahari, radiasi, sinar-X, penyakit
polagen, keganasan, kehamilan)
f)
Makanan
(coklat)
2.3
Klasifikasi
Kulit adalah
suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh, merupakan organ terberat
dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7 –
3,6 kg dan luasnya sekitar 1,5 – 1,9 meter persegi. Tebalnya kulit bervariasi
mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari letak, umur dan jenis kelamin. Kulit
tipis terletak pada kelopak mata, penis, labium minus dan kulit bagian medial
lengan atas. Sedangkan kulit tebal terdapat pada telapak tangan, telapak kaki,
punggung, bahu dan bokong.
Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar
adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm sedangkan
lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau korium yang
merupakan suatu lapisan jaringan ikat
1.
Lapisan Kulit
a. Epidermis
Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler..Epidermis
terdiri atas lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam)
: Stratum
Korneum,Stratum Lusidum,Stratum Granulosum,Stratum Spinosum,Stratum Basale (Stratum Germinativum),
Fungsi Epidermis :Proteksi barier,Organisasi sel, Sintesis vitamin D
dan sitokin, Pembelahan dan mobilisasi sel, Pigmentasi (melanosit), Pengenalan
alergen (sel Langerhans),
b. Dermis
Dermis Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap
sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis dan
menghubungkannya dengan jaringan subkutis.
Fungsi Dermis : Struktur penunjang, Mechanical
strength, Suplai nutrisi, Menahan
shearing forces dan respon inflamasi.
c. Subcutis
Subkutan Merupakan
lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak.
Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan kulit secara longgar
dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah
di tubuh dan keadaan nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke
dermis untuk regenerasi.
Fungsi
Subkutis / hipodermis : Melekat ke
struktur dasar, Isolasi panas, Cadangan kalori, Kontrol bentuk tubuh, Mechanical
shock absorber.
3. Fisiologi kulit
Kulit merupakan
organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah memungkinkan
bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol
suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi dan metabolisme.
4. Fungsi Imun
Terdapat dua macam tipe imunitas yaitu :
a. Imunitas alami (natural)
Imunitas
alami akan memberikan respons nonspesipik terhadap setiap penterang asing tanpa
memperhatikan komposisi penyerang tersebut. Dasar dari mekanisme pertahanan
alami berupa kemampuan untuk membeda kan antara “diri sendiri” dan “bukan diri
sendiri”. Sawar fisik mencakup kulit serta membrane mukosa yang utuh sehingga
mikroorganisme pathogen dapat dicegah agar tidak masuk ke dalam tubuh, dan
silia pada traktus respiratorius bersama respons batuk serta bersin yang
bekerja sebagai filter dan membersihkan saluran nafas atas dari mikroorganisme
pathogen sebelum mikroorganisme tersebut dapat menginvasi tubuh lebih lanjut.
Sawar kimia
seperti getah lambung yang sam, enzim dalam air mata serta air liur (saliva)
dan substansi dalam secret kelenjar sebasea serta lakrimalis, bekerja dengan
cara nonspesifik unuk menghancurkan bakteri dan jamur yang menginvasi tubuh.
Sel darah putih atau leukosit turut serta dalam respons imun humoral maupun
seluler. Leukosit granuler atau granulosit yang mencakup neutrofil, eusinofil,
dan basofil.
b. Imunitas didapat (akuisita)
Imunitas
yang didapat (acquired immunity) terdiri atas respons imunyang tidak dijumpai
pada saat lahir tetapi akan diperoleh kemudian dalam hidup seseorang. Imunitas
ini didapat biasanya terjadi setelah seseorang terjangkit penyakit atau
mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respons imunyang bersifat protektif.
Pada imunitas yang didapat aktif, pertahanan imunologo akan dibentuk tubuh
orang yang dilindungi oleh imunitas tersebut. Imunitas ini biasanya berlangsung
selama bertahun – tahun atau bahkan seumur hidup. Imunitas didapat yang pasif
merupakan imunitas temporer yang ditransmisikan dari sumber lain yang sudah
memiliki kekebalan setelah penderita sakit atau menjalani imunisasi. Gama –
globulin dan antiserum yang didapat dari plasma darah rang yang memiliki
imunitas didapatkan dalam keadaan darurat untuk memberikan kekebalan terhadap
penyakit ketika resiko terjangkit suatu penyakit tertentu cukup besar.
c. Stadium Respons Imun
Terdapat empat stadium yang batasnya jelas dalam suatu respons imun,
keempat stadium tersebut yaitu :Stadium pengenalan, Stadium proliferasi, Stadium respons,
Stadium efektor,
faktor – faktor yang memepengaruhi system imunUsia ,Jenis
kelamin, Nutrisi, Penyakit, Faktor – faktor psikoneuro-imunologi, Obat – obatan.
d.
Antigen
Terdapat
beberpa teori tentang mekanisma yang digunakan limfosit B untuk mengenali
antigen penyerang dan kemudian bereaksi dengan memproduksi antibody yang tepat.
Sebagian antigen memiliki kemampuan untuk memicu pembentukan antibody secara
langsung oleh limfosit B, sementara sebagian lainnya memerlukan bantuan sel –
sel T. sel T merupakan bagian dari system surveilans yang tersebar diseluruh
tubuh, dengan bantuan makrofag maka limfosit T akan manganali antigen dari
penyerang asing. Limfosit T mengambil pesan antigenic atau cetak biru
(blueprint) antigen dan kemudian kembali ke nodus limfatikus yang terdekat
dengan pesan tersebut.
e. Antibody
Limfosit B
yang disimpan dalam nodus limfatikus, dibagi lagi menjadi ribuan klon yang
masing – masing bersifatrespnsif terhadap suatu kelompok tunggal antigen dengan
karakteristik yang hamper identik. Pesan antigenic yang dibawa kembali ke nodus
limfatikus akan menstimulasi kln spesifik limfosit B untuk membesar, membelah
diri, dan memperbanyak diri dan berdiferensiasi menjadi sel – sel plasma yang
dapat memproduksi antibody spesifik terhadap antigen.
Antibody
merupakan protein besar yang dinamakan immunoglobulin, setiap molekul antibody
terdiri atas dua subunit yang mengandung rantai peptide ringan dan berat.
Beberapa karakteristik immunoglobulin yaitu antara lain , Ig G (75 % dari total imunoglobulin), Ig A (15 % dari total imunoglobulin), Ig M (10 % dari total imunoglobulin), Ig D (0,2 % dari total imunoglobulin),Ig E (0,004 % dari total imunoglobulin)
f. Respons
Imun Seluler
Reaksi
seluler dimulai leh pemhikatan antigen dengan reseptor antigen pada permukaan
sel T. sel T akan membawa cetak biru atau pesan antigenic ke nodus limfatikus
tempat produksi sel – sel T yang lain distimulasi. Sebagian sel T tetap berada
dalam nodus limfatikus dan mempertahankan memri untuk antigen tersebut.
Sedangkan sebagian sel T lainnya akan bermigrasi dari nodus limfatikus ke dalam
system sirkulasi umum dan akhirnya ke jaringan tempat sel tersebut berada.
Terdapat dua
klasifikasi utama sel T efektor yang turut serta dalam menghancurkan
mikroorgansme asing. Sel T killer atau sitotoksik
menyerang antigen sacara langsung dengan mengubah membrane sel dan menyebabkan
lisis sel. Sel – sel hipersensitifitas tipe lambat melindungi tubuh melalui
produksi dan pelepasan limfosit. Limfokin yang termasuk dalam kelompok
glikoprotein yang lebih besar dan dikenal dengan nama sitokin, dapat merekrut,
mengaktifkan serta mengatur limfosit dan sel – sel darah putih lainnya.
Limfosit lain yang membantu dalam memerangi mikroorganisme yaitu limfosit
null dan sel natural killer (NK). Limfosit null, merupakan subpolpulasi
limfosit yang kurang mengandung cirri – cirri khas dari limfosit B dan T. Sel
NK yang mewakili suppulasi limfosit lainnya tanpa karakteristik sel B dan T
yang akan mempertahankan tubuh terhadap mikroorganisme dan beberapa tipe sel
malignan. Sel NK dapat membunuh langsung mikroorganisme penginvasi dan menghasilkan
sitokin.
2.4 Patofisiologis
Patogenesisnya belum jelas, kemungkinan disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang
membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi
hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak
kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi
reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .
karena proses hipersensitivitas,
maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi Kegagalan fungsi kulit yang
menyebabkan kehilangan cairan, Stres hormonal
diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat, Kegagalan termoregulasi, Kegagalan
fungsi imun, Infeksi.
1.
Reaksi
Hipersensitif tipe III
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang
bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah
hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap
dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke
jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut.
Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga
terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.
Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang
rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal
ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
2.
Reaksi
Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi
pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen
sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang
diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya.
2.5 Tanda
dan Gejala
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3
tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang
berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya
penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise,
nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya
trias kelainan berupa:
1. Kelainan
kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula.
Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping
itu dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya
generalisata.
2. Kelainan
selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang
tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian disusul oleh kelainan
dilubang alat genital (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus jarang
(masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula
yang cepat memecah sehingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman.
Juga dalam terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak yaitu
krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosa dapat juga
terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas dan esopfagus. Stomatitis
ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran
di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang
tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa
kongjungtivitis purulen, perdarahan, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
Disamping trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya:
nefritis dan onikolisis.
2.6
Penatalaksanaan
1.
Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi
tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila
keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.
Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam
beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan
deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum
membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari,
deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya
prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari
kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian
kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada
gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek
katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti
nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa
(dosis untuk anak tergantung berat badan).
2.
Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi
misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi
antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat
bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
3.
Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit
dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi
dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat
diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak
memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak
300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura
yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C
500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
4.
Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut
dapat berupa kenalog in oral base. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat
diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
2.7
Komplikasi
Bronkopneumonia (16%), sepsis, kehilangan cairan/darah,
gangguan keseimbangan elektrolit, syok, dan kebutaan karena gangguan lakrimasi.
Sindrom steven johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai
berikut:
Kehilangan cairan dan darah
Gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, Shock
Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis
anterior, panophthalmitis, kebutaan
Gastroenterologi - Esophageal
strictures
Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal,
gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina
Pulmonari – pneumonia, bronchopneumoni
Kutaneus
– timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder
Infeksi sitemik, sepsis
2.8
Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Bila ditemukan
leukositosis penyebab kemungkinan dari infeksi
Bila eosinophilia penyebab kemungkinan alergi
2. Histopatologi
Infiltrasi sel
ononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superficial
Edema dan
extravasasi sel darah merah di dermis papilar.
Degenerasi
hidrofik lapisan absalis sampai terbentuk vesikel subepidermal
Nekrosis sel
epidermal dan kadang-kadang dianeksa
Spongiosis dan
edema intrasel di epidermis
3. Imunologi
Deposit IgM dan
C3 di pembuluh darah dermal superficial dan pada pembulih darah yang mengalami
kerusakan
Terdapat
komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA secara tersendiri atau dalam kombinasi
2.9
Prognosis penyakit
Tes SCORTEN adalah tes
untuk menskoring derajat keparahan Sindroma Steven Johnson. Perhitungan
dilakukan dalam 24 jam untuk memprediksi kematian. Adanya penampakan dari tiap
hal dibawah ini mendapat skor 1, dan jumlah dari poin-poin inilah yang
dinamakan angka SCORTEN dengan maksimum skor 7. Penampakan yang diukur : umur
lebih dari 40 tahun, adanya keganasan, nadi lebih dari 120 kali per menit,
kadar glukosa lebih dari 252 mEq/L5, luas permukaan tubuh yang terkena lebih
dari 10 % (Gustiawan, 2010,
Menurut Siregar, RS
(2005, hlm.142) prognosis umumnya baik, dapat sembuh secara sempurna bergantung
pada perawatan dan cepatnya mendapat terapi yang tepat. Jika terdapat purpura,
prognosisnya lebih buruk, angka kematian lebih kurang 5-15 % karena purpura
dapat menyebabkan pendarahan kecil didalam kulit, membran mukosa, atau
permukaan serosa tetapi dapat menyebabkan terjadinya lesi bercorak anular atau
serpiginosa dan biasanya terjadi setelah penyakit menular yang ditandai dengan
gejala demam, anemia, dan pendarahan kulit simetris yang timbul
mendadak serta cepat meluas pada ekstrimitas bawah, sring ditandai
dengan ganggren dan trombosis intravaskuler yang luas.
BAB III
LANDASAN TEORITIS KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas
Kaji nama, umur, jenis
kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, alamat,
dan nomor register.
2. Riwayat Kesehatan
- Keluhan
Utama
Kaji apa alasan
klien membutuhkan pelayanan kesehatan
- Riwayat
Kesehatan Sekarang
Kaji bagaimana
kondisi klien saat dilakukan pengkajian. Klien dengan Steven Johnson biasanya
mengeluhkan dema, malaise, kulit merah dan gatal, nyeri kepala, batuk, pilek,
dan sakit tenggorokan.
- Riwayat
Kesehatan Dahulu
Kaji riwayat alergi
makanan klien, riwayat konsumsi obat-obatan dahulu, riwayat penyakit yang
sebelumnya dialami klien.
- Riwayat
Kesehatan Keluarga
Kaji apakah di
dalam keluarga klien, ada yang mengalami penyakit yang sama.
- Riwayat
Psikososial
Kaji bagaimana
hubungan klien dengan keluarganya dan interaksi sosial.
3. Pola Fungsional Gordon
- Pola
persepsi kesehatan - manajemen kesehatan
: pada pola ini
kita mengkaji:
a. Bagaimanakah pandangan klien terhadap
penyakitnya?
b. Apakah klien klien memiliki riwayat
merokok, alkohol, dan konsumsi obat-obatan tertentu?
c. Bagaimakah pandangan klien
terhadap pentingnya kesehatan?
: pada klien
dengan Steven Johnson, biasanya penting dikaji riwayat konsumsi obat-obatan
tertentu.
- Pola
nutrisi - metabolik
: pada pola ini
kita mengkaji:
a. Bagaimanakah pola makan dan minum
klien sebelum dan selama dirawat di rumah sakit?
b. Kaji apakah klien alergi terhadap
makanan tertentu?
c. Apakah klien menghabiskan makanan
yang diberikan oleh rumah sakit?
d. Kaji makanan dan minuman kesukaan
klien?
e. Apakah klien mengalami mual dan
muntah?
f. Bagaimana dengan BB
klien, apakah mengalami penurunan atau sebaliknya?
: pada klien
dengan Steven Johnson, biasanya mengalami penurunan nafsu makan, sariawan pada
mulut, dan kesulitan menelan.
- Pola
eliminasi
: pada pola ini
kita mengkaji:
a. Bagaimanakah pola BAB dan BAK klien ?
b. Apakah klien menggunakan alat bantu
untuk eliminasi?
c. Kaji konsistensi BAB dan BAK
klien
d. Apakah klien merasakan nyeri saat BAB
dan BAK?
: Klien dengan
Steven Johnson, biasanya akan mengalami retensi urin, konstipasi, membutuhkan
bantuan untuk eliminasi dari keluarga atau perawat.
- Pola aktivitas
- latihan
: pada pola ini
kita mengkaji:
a. Bagaimanakah perubahan pola aktivitas
klien ketika dirawat di rumah sakit?
b. Kaji aktivitas yang dapat dilakukan
klien secara mandiri
c. Kaji tingkat ketergantungan
klien
0 = mandiri
1 = membutuhkan
alat bantu
2 = membutuhkan
pengawasan
3 = membutuhkan
bantuan dari orang lain
4 = ketergantungan
d. Apakah klien mengeluh mudah lelah?
: Klien dengan
Steven Johnson biasanya tampak gelisah dan merasa lemas, sehingga sulit untuk
beraktifitas.
- Pola
istirahat - tidur
: pada pola ini
kita mengkaji:
a. Apakah klien mengalami gangguang
tidur?
b. Apakah klien mengkonsumsi obat
tidur/penenang?
c. Apakah klien memiliki kebiasaan
tertentu sebelum tidur?
: Klien dengan Steven
Johnson, akan mengalami kesulitan untuk tidur dan istirahat karena nyeri yang
dirasakan, rasa panas dan gatal-gatal pada kulit.
- Pola
kognitif - persepsi
: pada pola ini
kita mengkaji:
a. Kaji tingkat kesadaran klien
b. Bagaimanakah fungsi penglihatan dan
pendengaran klien, apakah mengalami perubahan?
c. Bagaimanakah kondisi kenyamanan
klien?
d. Bagaimanakah fungsi kognitif dan
komunikasi klien?
: Klien dengan
Steven Johnson akan mengalami kekaburan pada penglihatannya, serta rasa nyeri
dan panas di kulitnya
- Pola
persepsi diri - konsep diri
: Pada pola ini
kita mengkaji:
a. Bagaimanakah klien memandang dirinya
terhadap penyakit yang dialaminya?
b. Apakah klien mengalami perubahan
citra pada diri klien?
c. Apakah klien merasa rendah
diri?
: Dengan keadaan
kulitnya yang mengalami kemerahan, klien merasa malu dengan keadaan tersebut,
dan mengalami gangguan pada citra dirinya.
- Pola peran
- hubungan
: pada pola ini
kita mengkaji:
a. Bagaimanakah peran klien di dalam
keluarganya?
b. Apakah terjadi perubahan peran dalam
keluarga klien?
c. Bagaimanakah hubungan sosial
klien terhadap masyarakat sekitarnya?
- Pola
reproduksi dan seksualitas
: Pada pola ini
kita mengkaji:
a. Bagaimanakah status reproduksi klien?
b. Apakah klien masih mengalami siklus
menstrusi (jika wanita)?
- Pola koping
dan toleransi stress
: Pada pola ini
kita mengkaji:
a. Apakah klien mengalami stress
terhadap kondisinya saat ini?
b. Bagaimanakah cara klien menghilangkan
stress yang dialaminya?
c. Apakah klien mengkonsumsi obat
penenang?
- Pola nilai
dan kepercayaan
: Pada pola ini
kita mengakaji:
a. Kaji agama dan kepercayaan yang
dianut klien
b. Apakah terjadi perubahan pola dalam
beribadah klien?
4. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi: Warna,
suhu, kelembapan, kekeringan
Palpasi: Turgor
kulit, edema
- Data fokus:
DS: gatal-gatal
pada kulit, sulit menelan, pandangan kabur, aktifitas menurun
DO: kemerah-merahan, memegang tenggorokan, tampak
gelisah, tampak lemas dalam beraktifitas.
5. Pemeriksaan Laboratorium
dan Penunjang
· Laboratorium
: leukositosis atau esosinefilia
· Histopatologi
: infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah merah,
degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan edema
intrasel di epidermis.
· Imunologi
: deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA
3.2 DIAGNOSA
1. Nyeri
berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
2. Gangguan
integritas kulit berhungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi
lapisan kulit
3. Kekurangan
volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan dari intravaskuler ke
dalam rongga interstisial, hilangnya cairan secara evaporasi, rusaknya jaringan
kulit akibat luka.
4. Gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan.
5. Gangguan
intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
6. Infeksi berhubungan dengan hilangnya
barier/perlindungan kulit
7. Gangguan
citra tubuh : penampilan peran berhubungan dengan krisis situasi, kecacatan,
kejadian traumatic
3.3 Intervensi
1. Nyeri
berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit
Tujuan
: Nyeri dapat dikontrol atau hilang
Kriteria hasil :
· Klien melaporkan
nyeri berkurang
· Skala nyeri 0-2
· Klien dapat
beristirahat
· Ekspresi wajah
rileks
· RR : 16 - 20 x/menit
· TD : 100-130/60-90
mmHg
· N
: 60 – 90 x/menit
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kaji tingkat skala nyeri 1 – 10, lokasi dan intensitas nyeri
|
Untuk mengetahui tingkat nyeri klien dan merupakan data dasar untuk
memberikan intervensi
|
2
|
Kaji tanda-tanda vital (TD, RR, N)
|
Untuk memonitor keadaan klien dan mengetahui terjadinaya syok neurologik
|
3
|
Anjurkan dan ajarkan klien tehnik relaksasi nafas dalam, distraksi,
imajinasi
|
Untuk mengurangi persepsi nyeri, meningkatkan relaksasi dan menurunkan
ketegangan otot
|
4
|
Tingkatkan periode tidur tanpa gangguan
|
Kekurangan tidur dapat meningkatkan persepsi nyeri
|
5
|
Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan
|
Lingkungan yang tenang dapat menjadikan pasien dapat istirahat.
|
6
|
Kolaborasi dalam pemberian obat analgetik
|
Membantu mengurangi atau menghilangkan nyeri
|
2. Gangguan
integritas kulit berhungan dengan kerusakan permukaan kulit karena destruksi
lapisan kulit
Tujuan
: integritas kulit menunjukkan regenerasi jaringan
Kriteria hasil :
· Luka
mencapai penyembuhan tepat pada waktunya dan bebas dari purulen
· Tidak
ada tanda-tanda infeksi (nyeri, merah, bengkak, panas, fungsio lesi)
· Kulit
membaik/ terjadi regenerasi jaringan
· TD
: 100-130/60-90 mmHg
· N
: 60 – 90 x/menit
· Suhu
: 36,5- 37, 4 C
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kaji ukuran, warna luka, perhatikan jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
luka
|
Memberikan informasi dasar tentang kondisi luka
|
2
|
Berikan perawatan luka yang tepat dan tindakan kontrol infeksi
|
Meningkatkan pemulihan dan menurunkan risiko infeksi
|
3
|
Berikan lingkungan yang lembab dengan kompres
|
Lingkungan yang lembab memberikan kondisi optimum bagi penyembuhan luka
|
4
|
Dorong klien untuk istirahat
|
Untuk mendukung pertahanan tubuh
|
5
|
Tingkatkan masukan nutrisi, protein dan karbiohidrat
|
Untuk meningkatkan pembentukan granulasi yang normal dan kesembuhan
|
6
|
Kolaborasi pemberian obat sistemik
|
Memperlancar terapi dan mempercepat proses penyembuhan
|
3. Kekurangan
volume cairan tubuh berhubungan dengan perpindahan cairan dari intravaskuler ke
dalam rongga interstisial dan rusaknya jaringan kulit akibat luka.
Tujuan
: Tidak terjadi kekurangan volume cairan
Kriteria hasil :
· Haluaran urine
individu adekuat (0,5-1,0 mg/kg BB/jam)
· Turgor kulit
baik
· Urin jernih dan
berwarna kuning
· Membran mukosa
lembab
· TD normal
(100-130/60-90 mmHg)
· Denyut nadi (60-90
x/menit)
· Kadar elektrolit
serum dalam batas normal
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kaji dan catat turgor kulit
|
Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh
|
2
|
Observasi tanda vital
|
Untuk memonitor keadaan umum klien
|
3
|
Monitor dan catat cairan yang masuk dan keluar
|
Agar keseimbangan cairan tubuh klien terpantau
|
4
|
Timbang BB klien setiap hari
|
Penggantian cairan tergantung pada BB klien
|
5
|
Berikan penggantian cairan IV yang dihitung, elektrolit, plasma, albumin
|
Resusitasi cairan menggantikan kehilangan cairan/elektrolit dan mencegah
komplikasi
|
6
|
Awasi pemeriksaan laboratorium (Hb/Ht, natrium urine random)
|
Mengidentifikasi kehilangan darah atau kerusakan sel darah merah, dan
kebutuhan penggantian cairan dan elektrolit
|
4. Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan menelan.
Tujuan
: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
Kriteria hasil :
· Tidak terjadi
penurunan BB/BB ideal
· Nafsu makan
meningkat
· Lesi di bibir atau
mulut tidak ada
· Makanan yang
disediakan 80% dihabiskan
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Monitor intake dan output nutrisi
|
Untuk mengetahui pemasukan dan pengeluaran makanan
|
2
|
Kaji terhadap malnutrisi dengan mengukur tinggi dan BB
|
Memberikan pengukuran objektif terhadap status nutrisi
|
3
|
Jaga kebersihan mulut untuk menambah nafsu makan pasien
|
Mulut yang bersih memungkinkan peningkatan nafsu makan
|
4
|
Berikan makan sedikit tapi sering hingga jumlah asupan nutrisi tercukupi
|
Makanan dalam porsi kecil mudah dikonsumsi oleh klien dan mencegah
terjadinya anoreksia.
|
5
|
Berikan makanan untuk pasien dalam bentuk hangat dan sedian lunak/bubur
|
Memudahkan pasien dalam menelan makanan
|
6
|
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan kebutuhan nutsi klien
|
Agar kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
|
7
|
Kolaborasi dengan tim medis tentang makanan pengganti (enteral /parenteral)
|
Memberikan dukungan nutrisi bila klien tidak bisa mengkonsumsi jumlah
yang cukup banyak peroral.
|
5. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Tujuan
: Klien dapat bertoleransi terhadap aktivitas
Kriteria Hasil : Klien mengatakan peningkatan
toleransi aktivitas
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kaji respon individu terhadap aktivitas
|
Untuk mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan aktivitas
sehari-hari.
|
2
|
Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat
keterbatasan yang dimiliki klien
|
Energi yang dikeluarkan lebih optimal
|
3
|
Jelaskan pentingnya pembatasan aktivitas
|
Pembatasan aktivitas penting untuk membatasi energi yang dikeluarkan,
karena energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
|
4
|
Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
|
Klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
|
6. Resiko infeksi berhubungan dengan
hilangnya barier/perlindungan kulit
Tujuan
: Tidak terjadi infeksi lokal atau sistemik
Kriteria hasil :
· Tidak ada
tanda-tanda infeksi (merah, bengkak, panas, nyeri, fungsio lesi)
· Leukosit (5000 -
10000/mm3)
· Suhu tubuh dalam
batas normal (36,5 - 37,4 C)
· RR : 16 – 20 x/menit
· TD : 100-139/60-96
mmHh
· N
: 60 – 100 x/menit
· Luka mencapai
penyembuhan tepat waktu, bebas dari purulen dan tidak demam
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Monitor tanda-tanda vital
|
Perubahan tanda vital secara drastis merupakan komplikasi lanjut untuk
terjadinya infeksi
|
2
|
Observasi keadaan luka setiap hari
|
Untuk mengidentifikasi adanya penyembuhan
|
3
|
Jaga agar luka tetap bersih atau steril
|
Menurunkan resiko inspeksi dan untuk mencegah terjadinya kontaminasi
silang
|
4
|
Lakukan perawatan luka setiap hari (kompres luka dengan NaCl) dan
bersihkan jaringan nekrotik
|
Untuk mempercepat penyembuhan
|
5
|
Berikan perawatan pada mata
|
Mata dapat membengkak oleh drainase luka
|
6
|
Tingkatkan asupan nutrsisi
|
Nutrisi mempengaruhi sintesis protein dan fotositosis
|
7
|
Batasi pengunjung dan anjurkan pada keluarga/pengunjung untuk mencuci
tangan sebelum kontak langsung dengan klien
|
Untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang
|
8
|
Pantau hitung leukosit, hasil kultur dan tes sensitivitas
|
Peningkatan leukosit menunjukkan infeksi, pemeriksaan kultur dan
sensitivitas menunjukkan mikroorganisme yang ada dan antibiotic yang tepat
diberikan
|
9
|
Kolaborasi berikan antibiotic
|
Mengurangi jumlah bakteri
|
7. Gangguan
citra tubuh : penampilan peran berhubungan dengan krisis situasi, kecacatan,
kejadian traumatic
Tujuan : terjadi perbaikan penampilan peran
Kriteria hasil :
· Klien tidak
berperasaan negative tentang dirinya
· Klien menyatakan
penerimaan situasi diri
· Klien tidak takut/malu
berinteraksi dengan orang lain
· Klien bicara dengan
keluarga terdekat tentang situasi/ perubahan yang terjadi
No
|
Intervensi
|
Rasional
|
1
|
Kaji makna kehilangan/perubahan pada pasien/orang terdekat
|
Episode traumatic mengakibatkan perubahan tiba-tiba
|
2
|
Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergatnungan, marah, kedukaan.
Perhatikan perilaku menarik diri dan penggunaan penyangkalan
|
Penerimaan perasaan sebagai respons normal terhadap apa yang terjadi
membantu perbaikan
|
3
|
Bersikap realistis dan positif selama pengobatan, pada penyuluhan
kesehatan dan menyusun tujuan dalam keterbatasan
|
Meingkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara pasien dan perawat
|
4
|
Berikan harapan dalam parameter situasi individu
|
Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusu
tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realita
|
5
|
Berikan penguatan positif terhadap kemajuan dan dorong usaha untuk
mengikuti tujuan rehabilitasi
|
Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif
|
6
|
Dorong interaksi keluarga dan dengan tim medis rehabilitasi
|
Mempertahankan /membuka garis komunikasi dan memberikan dukungan
terus-menerus pada pasien dan keluarga
|
No comments:
Post a Comment